Laman

Senin, 29 November 2010

Contoh Laporan IUT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
            Geodesi adalah ilmu yang berhubungan dengan permukaan bumi. Jadi pekerjaan yang berkaitan dengan penentuan posisi dan tinggi (X,Y,Z) dari bentuk permukaan bumi ditransfer ke bidang datar atau tampilan 2D dan 3D. (Batara, Y. D. Ilmu Ukur Tanah. Banjarmasin: Jurusan Teknik Geodesi. Politeknik Negeri Banjarmasin)
Bola bumi pada hakikatnya mendekati bentuk ellipsoida putar, sehingga untuk pengukuran pada permukaan bumi haruslah dipergunakan metode pengukuran pada bidang ellipsoida.  Jadi pengukuran di atas permukaan bumi dan proses perhitungannya pun akan lebih sukar dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan pada bidang datar. Pengukuran yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan bentuk lengkungan bumi disebut dengan geodesi, sedangkan pengukuran yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan bentuk lengkungan bumi disebut ukur tanah datar.
Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-cara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk menentukan posisi relative atau absolute titik-titik pada permukaan tanah, di atasnya atau di bawahnya, dalam memenuhi kebutuhan seperti pemetaan dan penetuan posisi relative suatu daerah.
            Pengukuran beda tinggi antara dua titik di atas permukaan tanah merupakan bagian yang sangat penting dalam Ilmu Ukur Tanah. Beda tinggi ini biasa ditentukan dengan berbagai macam sipat datar.
            Waterpas (Levelling) adalah suatu alat untuk mengukur dalam menentukan beda tinggi dari sejumlah titik atau pengukuran perbedaan elevasi. Perbedaan yang di maksud adalah perbedaan tinggi di atas air laut kesuatu titik tertentu sepanjang garis vertikal. (Basuki, S. 2006. Ilmu Ukur Tanah.Yogyakarta: Jurusan Geodesi Universitas Gajah Mada)


1.2.      Batasan Masalah
            Pengukuran tinggi dan luas tanah cara polar, sipat datar teliti, sipat datar memanjang sempurna (pergi pulang), Sipat datar tertutup / kring (double stand), sipat datar profil memanjang, sipat datar profil melintang, sipat datar luas (system grid) dengan menggunakan alat waterpass, tripot, rambu ukur, pita ukur, nivo rambu, penjepit rambu, statif rambu, papan data, palu, paku payung, dan patok.

1.3.      Maksud dan Tujuan Praktek
            Maksud dari praktikum ini adalah:
1.      Mahasiswa mengetahui cara centering pada alat ukur waterpas
2.      Mahasiswa mengetahui metode yang digunakan untuk penentuan beda tinggi antar dua titik sesuai dengan kondisi di lapangan
3.   Mahasiswa mengetahui cara membaca benang silang diafragma pada rambu ukur dengan menggunakan alat ukur waterpas
4.  Mahasiswa mengetahui cara mengukur beda tinggi pada alat ukur waterpas.
5.  Mahasiswa mengetahui mengukur jarak langsung dan tidak langsung
6.  Mahasiswa mengetahui cara penulisan data lapangan ke formulir data ukur
7.   Mahasiswa mengetahui cara pembuatan sket lapangan ke atas kertas

Tujuan dari praktikum ini adalah:
1.      Mahasiswa dapat mempraktekan centering pada alat ukur waterpas
2.      Mahasiswa dapat mempraktekan metode yang digunakan untuk penentuan beda tinggi antar dua titik sesuai dengan kondisi di lapangan
3.   Mahasiswa dapat mempraktekan pembacaan benang silang diafragma pada rambu ukur dengan alat ukur waterpas
4.   Mahasiswa dapat mempraktekan mengukur beda tinggi pada alat ukur waterpas
5.   Mahasiswa dapat mempraktekan pengukuran jarak langsung dan tidak langsung
6.   Mahasiswa dapat mempraktekan cara penulisan data lapangan ke formulir data ukur waterpas
7.   Mahasiswa dapat mempraktekan cara pembuatan sket lapangan ke atas kertas  

1.4.      Ruang Lingkup Praktikum
            Ruang lingkup praktikum meliputi beberapa macam metode pengukuran levelling, yaitu :
1.      Pengukuran tinggi dan luas tanah cara polar
2.      Sipat datar teliti (Reciprocal Levelling)
3.      Sipat datar memanjang sempurna
4.      Sipat datar tertutup / kring (double stand)
5.      Sipat datar profil memanjang
6.      Sipat datar profil melintang
7.      Sipat datar luas (system grid)

1.5.      Pelaksanaan Praktikum

1.5.1.   Studi literature
Dalam penulisan laporan ini diperlukan beberapa literature sebagai dasar acuan yang dapat digunakan untuk kesempurnaan laporan ini. Literature yang digunakan bersumber dari materi-materi yang telah diberikan oleh Dosen dalam mata kuliah Ilmu Ukur Tanah di program studi Geodesi.

1.5.2.   Studi laboratorium
            Pemprosesan data hasil lapangan dilakukan secara manual dilaboratorium teknik geodesi Politeknik Negeri Banjarmasin, yang di bantu oleh dosen pembimbing, dan pemprosesan data selanjutnya juga dilaksanakan dirumah.

1.5.3.   Studi Lapangan
Praktikum dilaksanakan pada semester II dengan pembuatan laporan berdasarkan hasil dari praktek langsung di lapangan yang berlokasi di Politeknik Negeri Banjarmasin dan halaman UNLAM.
BAB II
DASAR TEORI

2.1.      Pengertian Waterpass
Waterpass (penyipat datar) adalah suatu alat ukur tanah yang dipergunakan untuk mengukur beda tinggi antara titik-titik saling berdekatan. Beda tinggi tersebut ditentukan dengan garis-garis visir (sumbu teropong) horizontal yang ditunjukan ke rambu-rambu ukur yang vertical.
Sedangkan pengukuran yang menggunakan alat ini disebut dengan Levelling atau Waterpassing. Pekerjaan ini dilakukan dalam rangka penentuan tiggi suatu titik yang akan ditentukan ketiggiannya berdasarkan suatu system referensi atau bidang acuan.
Sistem referensi atau acaun yang digunakan adalah tinggi muka air air laut rata-rata atau Mean sea Level (MSL) atau system referensi lain yang dipilih.Sistem referensi ini mempunyai arti sangat penting, terutama dalam bidang keairan, misalnya: Irigasi, Hidrologi, dan sebagainya. Namun demikian masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang memerlukan system referinsi.
Untuk menentukan ketinggian suatu titik di permukaan bumi tidak selalu tidak selalu harus selalu mengukur beda tinggi dari muka laut (MSL), namun dapat dilakukan dengan titik-titik tetap yang sudah ada disekitar lokasi oengukuran. Titik-titik tersebut umumnya telah diketahui ketinggiannya maupun kordinatnya (X,Y,Z) yang disebut Banch Mark (BM). Banch mark merupakan suatu tanda yang jelas (mudah ditemukan) dan kokoh dipermukaan bumi yang berbentuk tugu atau patok beton sehingga terlindung dari faktor-faktor pengrusakan.
Manfaat penting lainnya dari pengukuran Levelling ini adalah untuk kepentingan proyek-proyek yang berhubungan dengan pekerjaan tanah (Earth Work) misalnya untuk menghitung volume galian dan timbunan. Untuk itu dikenal adanya pengukuran sipat datar profil memanjang (Long section) dan sipat datar profil melintang (Cross section).
Dalam melakukan pengukuran sipat datar dikenal adanya tingkat-tingkat ketelitian sesuai dengan tujuan proyek yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pada setiap pengukuran akan selalu terdapat kesalah-kesalahan. Fungsi tingkat-tingkat ketelitan tersebut adalah batas toleransi kesalahan pengukuran yang diperbolehkakan. Untuk itu perlu diantisipasi kesalah tersebut agar di dapat suatu hasil pengukuran untuk memenuhi batasan toleransi yang telah ditetapkan. (Sobatnu, F. Ilmu Ukur Tanah 2. Diktat Kuliah Prodi DIII Teknik Geodesi. Politeknik Negeri Banjarmasin)


 

Gambar.2.1 Nikon AP-8



  Gambar.2.2. Tiga Sekrup ABC


Secara Garis Besar, alat ukur sipat datar di bedakan menjadi :
1.          Dumpy level



Gambar.2.3.Waterpas Tipe Dumpy Level

2.     Tilting level


 

Gambar.2.4.Wild AK2
3.   Tipe otomatis (Automatic level), maksudnya apabila sumbu I telah vertical otomatis garis bidik akan mendatar. Ex: merk  Topcon AT-G6, Nikon AP-8
Gambar.2.5. Nikon AP-8 (http://indonetwork.co.id/mediagps/1099906/levelling.htm)

2.2.      Sistem Referensi
Sistem refensi adalah suatu sistem yang medifinisikan suatu titik awal (titik nol). Hal ini mempunyai arti penting sehingga tidak memungkinkan terjadinya perbedaan tnggi antara satu proyek dengan proyek yang lain dari suatu wilyah.

Ada dua (2) macam sistem referensi untuk tinggi yang dipergunakan yaitu :
1.      Sistem Referensi Muka Air Laut Rata-rata
Dimana tinggi diukur dari permukaan air laut rata-rata yang tak terganggu (0 meter sama dengan permukaan air laut rata-rata). Jadi misalnya kota banjarbaru mempunyai ketinggian +22 meter berarti bahwa kota tersebut terletak di atas MSL (mean sea level) setinggi 22 meter. Untuk proyek-proyek pengukuran yang besar biasanya mempergunakan MSL sebagai referensi tinggi.
2.      Sistem Referensi Lokal
Pada sistem ini tinggi diukur dari permukaan tanah lokasi proyek (0 meter ditentukan secara sembarang / local). Misalnya ketinggian awal dapat dimulai dari 100 m, 250 m, atau  0 m (local).

2.3.      Bench Mark (BM)
Didalam pekerjaan pengukuran dilapangan pada umumnya akan menghasilkan suatu titik. Titik bias jadi merupaka hasil dari ukuran jarak, sudut ataupun secara sengaja diberikan sebagai tanda awal dilapangan untuk kepentingan selanjutnya (titik ikat). Dengan demikian untuk menyatakan letak titik dipermukaan bumi ini diperlukan suatu tanda.
            Tanda tersebut dapat berupa benda hidup atupun benda mati, suatu symbol dan lainnya. Akan tetapi pada ilmu ukur tanah umumnya tanda untuk menyatakan letak titik adalah berupa tugu atau patok. Tanda tersebut memilika data data berupa nama, nomor, tanggal/tahun dan kordinat yaitu nilai perpotongan sumbu X,Y pada bidang horizontal serta nilai ketinggian Z pada bidang vertikal diukur dari bidang 0 permukaan air laut rata-rata. Berdasarkan fungsi pemanfaatannya, titik-titik dipermukaan bumi ini dikenal memiliki dua sifat yaitu, bersifat tetap (permanen) serta bersipat sementara.
            Banch mark adalah suatu monument / tugu / patok beton yang telah diketahui titik kordinatnya (X,Y,Z) yang dipasang untuk pemetean. Dalam hal ini ketinggiannya di ukur secara teliti terhadap sistem referensi tertu. BM tersebut dapat pula dipakai sebagai titik awal pengukuran atau titik ikat atau titik kontrol.
            Melihat dari fungsinya titik yang bersifat tetap digunakan sebagai acuan / referensi untuk tahapan pengukuran selanjutnya. Titik-titik tetap pada umumnya ditentukan melalui proses pengamatan, penelitian dalam waktu lama dengan tingkat ketelitian tertentu dan merupakan kerangka dasar (titik kontrol). Ditinjau dari kegunaan dan tingkat ketelitian yang dimiliki oleh suatu titik tetap (Bench Mark) maka titik tetap dapat diklasifikasikan menurut ordenya sebagai berikut :
1.  Titik kerangka dasar utama (orde 1/ Primer)
2.  Titik kerangka dasar tingkat dua (orde 2 / Sekunder)
3.  Titik kerangka dasar tingkat tiga (orde 2 / Tertier)
4.  Titik kerangka dasar tingkat empat (orde 4 / Kuarter)
Pembuatan atau pengadaan kerangka dasar tersebut dapat diterapkan disetiap daerah, akan tetapi bentuk rangkaian titik dan metode pengukuran yang digunakan harus disesuaikan dengan bentuk, luas serta kondisi daerah yang disertakan.
            Sedangkan titik-titik yang bersifat sementara diperlukan pada pengukuran sebagai titik bantu. Letak titik-titik ini di beri tanda dari kayu dengan ukuran tertentu dan ditanam didalam tanah. Patok kayu ini diberi nomor dan cat merah, sedangkan pada bagian atas dipakai paku payung.
      Titik-titik yang dibuat dilapangan harus dapat diketemukan dengan mudah, kokoh dan aman dalam artian tidak rusak dan bergeser sehingga mempengaruhi dari nilai kordinat yang dimiliki titik tersebut. Adapun metode yang digunakan untuk menentukan titik-titik dilapangan yaitu pengukuran  Triangulasi, Poligon, dan Pengamatan GPS.

1.4.      Macam-macam Pengukuran Tinggi
a.       Pengukuran tinggi secara langsung dengan menggunakan pita ukur dan nivo sederhana
b.      Pengukuran tinggi menggunakan alat barometer (barometer leveling)
Pada dasarnya ada hubungan antara ketinggian suatu tempat dengan tekanan udara di tempat itu, dimana makin tinggi tempatnya, makin kecil tekanan udaranya. Dengan alat barometer ini ketinggiaan dapat di uukur altnya disebut dengan altimeter
c.       Pengukuran tinggi menggunakan cara trigonometri (trigonometri leveling)
Beda tinggi antara dua tempat dapat di tentukan / dihitung bila data yang diukur dengan alat yang dilengkapi skala lingkaran sudut vertikal misalnya theodolit dan clinometer.
Dm = (Ba-Bb) x 100
L = Dm x cos λ
∆h = Ti Dm Sin λ – Bt
Keteranagan : ∆h = Beda Tinggi antara dua titik
                        Dm = Jarak miringλ
                        L= Jarak Datar
                        λ = Pembacaan Sudut vertikal
                        Ti = Tinggi alat
                        Ba, Bt, Bb = Bacaan rambu ukur
d.      Pengukuran tinggi dengan alat penyipat datar
Pada cara ini didasarkan atas kedudukan garis bidik teropong yang dibuat horizontal dengan menggunakan gelembung nivo.

2.5.      Penentuan Beda Tinggi Antar Dua Titik
            Penentuan beda tinggi antara dua titik dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu ditinjau dari kedudukan atau penempatan alat ukur penyipat datar. Tiga cara ini dapat dipergunakan sesuai dengan kondisi di lapangan dan hasil pengukuran yang ingin diperoleh.
1.      Cara pertama, alat ukur berada di antara kedua titik.
Pada cara ini alat ukur ditempatkan antara titik A dan B, sedangkan masing-masing titik tersebut ditempatkan rambu ukur yang vertikal. Jarak dari alat ukur terhadap masing-masing rambu diusahakan berimbang atau ± sama. Sedangkan letak alat ukur tidaklah harus pada garis lurus yang menghubungkan titik A dan B. Cara ini merupakan dasar dalam pengukuran sipat datar memanjang


 
Gambar 2.6. Pengukuran beda tinggi di antara titik dengan alat penyipat datar

Dengan cara ini aturlah kedudukan alat agar memenuhi syarat melakukan pengukuran, kemudian arahkan garis ke rambu A sebagai bacaan belakang (b) dan ke rambu B sebagai bacaan muka (m). Dalam hal ini selalu diingat, bahwa angka pembacaan pada rambu merupakan jarak yang dibatasi antara alas rambu terhadap garis bidik maka dapat dimengerti bahwa beda tinggi antara titik A dan B yaitu sebesar t = b – m.

1.      Cara kedua, alat ukur berada di luar kedua titik
Cara yang kedua ini merupakan cara yang dapat dilakukan bilamana pengukuran beda tinggi antara kedua titik tidak memungkinkan dilakukan dengan cara yang pertama, disebabkan oleh kondisi di lapangan atau hasil pengukuran yang hendak dicapai. Pada cara ini alat ukur ditempatkan disebelah kiri atau kanan pada salah satu titik. Jadi alat tidak berada diantara kedua titik A dan B melainkan di luar garis A dan B melainkan di luar garis A dan B. Sedangkan pembacaan kedua rambu sama dengan cara yang pertama, hingga diperoleh beda tinggi antara kedua titik A dan B. Penentuan tinggi dengan cara ini umum dilakukan pada pengukuran sipat datar profil.

 
 
Gambar 2.7. Pengukuran Beda Tinggi di luar Titik dengan Alat Penyipat Datar

1.      Cara ketiga, alat ukur berada di atas salah satu dari kedua titik.
Pada cara ini, alat ukur ditempatkan di atas salah satu titik dari kedua titik yang diukur. Harus dipahami bahwa, penempatan alat di atas titik terlebih dahulu diketahui titik tersebut, sehingga kedudukan sumbu ke satu alat ukur segaris dengan titik tengah patok (Center). Dalam hal ini untuk menempatkan alat tepat di atas patok menggunakan alat tambahan yaitu unting-unting. Penggunaan cara yang ketiga ini umum dilakukan pada penyipat datar luas dan Stake out.

Gambar 2.8. Pengukuran Beda Tinggi di atas Titik dengan Alat Penyipat Datar

Seperti terlihat pada Gambar 2.8 tinggi a adalah Tinggi Garis Bidik yang diukur dengan rambu dari atas patok B terhadap titik tengah teropong. Untuk memperoleh beda tinggi antara titik A dan B maka, arahkan teropong ke rambu lainnya yaitu rambu A dengan angka bacaan rambu sebesar b. Dengan demikian, beda tinggi titik A terhadap titik B adalah t = b – a.

            Dari ketiga cara pengukuran beda tinggi di antara dua titik tersebut, sesuai dengan urutannya cara yang pertama merupakan cara yang paling teliti. Hal ini disebabkan alat berada diantara kedua rambu sehingga dapat saling memperkecil kesalahan yang disebabkan oleh tidak sejajarnya garis bidik dan garis nivo pada saat pengaturan kedudukan alat.
     
            Cara kedua dan cara ketiga sering kali dipahami sebagai cara Tinggi Garis Bidik dan selanjutnya disingkat TGB. Dengan TGB sebagai garis acuan, maka dengan cepat dapat ditentukan ketinggian atau elevasi titik-titik di lapangan. Bila dicermati lebih mendalam cara kedua lebih teliti dibandingkan dengan cara ketiga, karena kasarnya prediksi terhadap titik tengah teropong menggunakan rambu.

            Yang harus dipahami pada pengukuran beda tinggi antara dua titik ini ialah, beda tinggi selalu diperoleh dari bacaan rambu belakan dan bacaan rambu muka. Ditentukannya nama belakang dan muka pada rambu terkait dengan nama patok serta arah jalur pengukuran yang direncanakan. Bila t bernilai positif (+), maka titik muka lebih tinggi dari pada titik belakang, sedangkan sebaliknya bila t bernilai negatif (-), maka titik muka lebih rendah dari pada titik belakang.

2.6.      Pengukuran Sipat Datar Memanjang
            Seperti yang telah dijelaskan pada tiga cara pengukuran beda tinggi di atas, pengukuran sipat datar memanjang merupakan aplikasi dari salah satu cara tersebut, yaitu pengukuran beda tinggi di antara dua titik. Bila kedua titik A dan B tersebut letaknya berjauhan sehingga pembacaan rambu tidak terlihat dengan jelas dan menjadi kurang teliti, atau disebabkan kondisi permukaan tanah yang mengakibatkan garis bidik titik memotong rambu karena rambu berada diatas atau dibawah alat.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.12 maka jarak antara titik A dan titik B dibagi menjadi jarak-jarak yang kecil, sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan mudah dan baik. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pada pelaksanaan pengukuran diantaranya yaitu;
-          Pengukuran beda tinggi dalam 1 slag yaitu, pengukuran beda tinggi di antara dua posisi rambu belakang (b) dan rambu muka (m)
-          Pembagian jarak antara posisi berdirinya alat ukur dengan masing-masing rambu yaitu maksimal 60 meter, dan usahakan pembagian jarak tersebut berimbang atau ± sama
-          Dalam pengukuran, posisi alat tidak perlu segaris dengan kedua rambu ukur
-          Dalam pengukuran sipat dasar memanjang, satu kali jalur pengukuran yang terdiri dari beberapa jumlah slag disebut 1 seksi (trayek) atau dari BM (Band Mark) ke BM
-          Pengukuran 1 seksi harus memiliki jumlah slag yang genap agar tidak terjadi kesalahan dan mudah dalam pemberian koreksi
-          Semua angka-angka pembacaan rambu harus dicatat dengan jelas ke dalam tabel pengukuran sehingga menjadi buku ukur. Dengan demikian harus disiapkan terlebih dahulu tabel pengukuran sipat datar memanjang
-          Buatlah sketsa jalur pengukuran sipat memanjang dengan jelas dan mudah dimengerti

Adapun tahapan pengukuran yang harus dilakukan dengan cara ini adalah sebagai berikut; Tentukan jalur pengukuran dan letak titik-titik yang aka diukur. Buatlah jarak antar titik dibawah jarak maksimum antara alat dengan masing-masing rambu. Letakan rambu pada titik A sebagai rambu belakang dan letakan pula rambu pada titik 1 yang telah ditentukan sedemikian rupa sebelumnya sebagai rambu muka. Atur posisi alat P1 di antara kedua rambu tersebut sehingga jarak antara alat dan rambu ± sama. Bidikan teropong ke arah rambu belakang dan bacalah skala rambu terhadap nilai Benang Tengah, Benang Atas dan Benang Bawah dengan garis diafragma. Catatlah hasil pembacaan rambu pada tabel pengukuran. Selanjutnya bidik teropong ke rambu muka dan baca serta catatlah pula skala rambu tersebut.

Setelah pengukuran rambu belakang dan muka pada posisi alat P1 terpenuhi, maka alat dapat dipindahkan ke posisi P2, dan harus diingat bahwa sebelum alat di letakan pada P2 rambu yang ada pada titik A dipindahkan ke titik 2 menjadi rambu muka, sedangkan rambu di titik 1 di putar perlahan mengarah ke P2 menjadi rambu belakang di titik 1. kemudian bidik teropong ke 1 sebagai rambu belakang, baca dan catat skala rambu selanjutnya bidik dan arahkan teropong ke titik 2 sebagai bacaan rambu muka. Demikian berjalannya pengukuran hingga pada posisi terakhir saat berdiri dalam hal ini P6.

2.7.      Pengukuran Sipat Datar Profil
Dengan data ukuran jarak dan perbedaan tinggi titik-titik diatas permukaan tanah dapat ditentukan irisan tegak dilapangan yang dinamakan profil atau biasa pula disebut penampang. Pada pekerjaan-pekerjaan rekayasa seperti perencanaan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi, lapangan udara dll, sangat dibutuhkan bentuk profil atau tampang pada arah tertentu untuk perencanaan kemiringan sumbu proyek, maupun hitungan volume galian atau timbunan tanah dan lain-lain.
Pengukuran profil umumnya dibedakan atas profil memanjang searah dengan sumbu proyek dan profil melintang dengan arah memotong tegak lurus sumbu proyek pada interval jarak yang tertentu. (Basuki, S. 2006)
Prinsip pengukuran profil dilapangan adalah menggunakan cara TGB untuk mengukur ketinggian titik-titik pada jalur pengukuran dilapangan.

2.7.1.   Profil Memanjang
Sekilas bila dilihat cara pengukuran profil memanjang hampir sama dengan pengukuran sipat datar memanjang akan tetapi terdapat perbedaan dari maksud dan pola dilapangan. Dengan cara TGB khususnya cara kedua pada prinsip pengukuran beda tinggi antara kedua titik, alat berada diluar jalur sumbu proyek maka hal yang harus diperhatikan pada saat pengukuran adalah:
1.      Harus memiliki titik ikat atau BM dilapangan, dengan interval jarak antar titik yang umumnya dijumpai adalah 10, 15, 25, 50, 100 meter.
2.      Harus tersedia tabel pengukuran dan sketsa pengukuran.
3.      Dalam pengukuran cara TGB terdapat bacaan belakang, bacaan tengah dan bacaan muka, mengingat alat berada diluar garis sumbu proyek sehingga pada posisi satu kali alat berdiri banyak titik yang dapat diukur.
4.      Rambu ditempatkan diatas patok sedangkan tinggi masing-masing patok harus diukur dari permukaan tanah.

Sebagai contoh pengukuran profil memanjang seperti terlihat pada gambar 2.13 berikut, terdapat satu titik ikat (BM) dan 10 titik detail. Angka bacaan rambu belakang pada BM merupakan nilai TGB untuk kedudukan alat P1, sedangkan angka bacaan rambu belakang pada titik 5 merupakan nilai TGB alat P2.
Titik 1, 2, 3, 4 merupakan bacaan tengah alat P1 dan titik 6, 7, 8, 9 bacaan tengah alat P2. Titik 5 merupakan titik simpul kedudukan alat P1 dan P2, sehingga terdapat bacaan belakang dan bacaan muka pada titik tersebut.













Gambar 2.13. Pengukuran Profil Memanjang

2.7.2.   Profil Melintang
            Arah profil melintang di setiap stasiun umumnya diambil tegak lurus terhadap sumbu proyek, sebagai dasar ketinggian di setiap profil adalah titik-titik stasiun yang telah diukur dari profil memanjang. Lebar profil tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek, namun pada umumnya batas lebar profil melintang ke kiri dan kanan dari garis sumbu proyek adalah 50 m 100 m. (Basuki, S. 2006)
            Pada daerah yang relatif datar, satu profil melintang mungkin dengan satu kali kedudukan alat. Namun pada daerah yang mempunyai topografi curam atau bergelombang tidak cukup dengan sekali berdiri alat, mungkin dua kali atau lebih.
            Di atas gambar profil inilah digambarkan tampang atau irisan dari rencana proyek dan luasan yang terjadi antara permukaan tanah asli dengan tampang proyek merupakan luas tampang galian atau timbunan yang diperlukan atau dibuang. Dengan mengkombinasikan antara tampang memanjang dan melintang maka volume dari tubuh tanah yang ditimbun atau digali dapat dihitung.
            Adapun cara pengukuran profil melintang dapat dilakukan dengan cara yang sama dengan profil memanjang, akan tetapi jarak antara titik-titik detail dilapangan lebih pendek dan disesuaikan dengan maksud pengukuran tersebut.
            Cara lainnya adalah dengan alat berada di atas titik perpotongan sumbu proyek. Perbedaan dengan cara profil memanjang adalah tiap alat berdiri pada suatu patok harus diukur ketinggiannya dari atas patok dan ketinggian patok diukur dari permukaan tanah. Keuntungan cara ini yaitu;
Þ    Irisan tanah akan tergambar dengan jelas
Þ    Tegak lurus garis sumbu proyek sehingga dapat digambar secara planimetris
Gambar 2.14. Pengukuran Profil Melintang

2.8.      Pengukuran Sipat Datar Luas
Pengukuran sipat datar luas adalah merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mendapatkan relief permukaan tanah pada wilayah yang cukup luas. Gambaran lekukkan permukaan tanah tersebut dibutuhkan untuk merencanakan  pondasi bangunan, pekerjaan pertanian dan perkebunan. Untuk menggambarkan lekukan permukaan tanah digunakan garis garis tinggi. Garis tinggi tersebut terbentuk dari titik-titik yang memiliki ketinggian sama.
Untuk dapat melukiskan garis-garis tinggi dengan teliti pada suatu wilayah, maka haruslah diketahui sebanyak mungkin ketinggian titik titik pada seluruh wilayah yang di ukur tersebut.
Agar pengukuran dapat berjalan dengan mudah, cepat dan teliti maka perlu di lakukan pengamatan di lapangan guna penentuaan cara pengukuran dan letak kedudukan alat. Prinsip pengukuran yang di gunakan pada pengukuran sipat datar luas ini adalah cara tinggi garis bidik (TGB) adapun cara pengukuran yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:
·         Cara polar / radial, jika keadaan wilayah yang diukur merupakan pemukiman sehingga jangkawan pengamatan menjadi terbatas.
·         Cara grid, jika keadaan wilayah yang di ukur tersebut terbuka atau kosong yaitu membagi wilayah tersebut dalam kotak-kotak sehingga letak titik-titik teratur.

2.9.      Ketelitian Pengukuran Sipat Datar
Untuk menentukan baik buruknya pengukuran menyipat datar, sehingga pengukuran harus diulang / tidak, maka akan ditentukan batas harga kesalahan terbesar yang masih dapat diterima.
Bila pengukuran dilakukan pulang pergi, maka selisih hasil pengukuran pulang pergi tidak boleh lebih besar dari pada:
k1 = ± (2,0 √ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama (First Order Levelling)
k2 = ± (3,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat kedua (Second Order Levelling)
k3 = ± (4,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat ketiga (Third Order Levelling)
            Untuk pengukuran menyipat datar yang diikat oleh dua titik yang telah diketahui tingginya sebagai titik-titik ujung pengukuran, maka beda tinggi yang didapat dari tinggi titik-titik ujung tertentu itu tidak boleh mempunyai selisih lebih besar dari pada:
k1 = ± (2,0 ± 2,0 √ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama
k2 = ± (2,0 ± 3,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat kedua
k3 = ± (2,0 ± 6,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat ketiga
            Pada rumus-rumus Skm berarti jarak pengukuran yang dinyatakan dalam kilometer.

2.10.    Syarat Pendirian Alat Waterpass
1.   Garis bidik di dalam teropong harus sejajar dengan garis arah nivo (Gambar.2.15). Tidak sejajarnya garis bidik dengan garis nivo, berarti bidang yang dibentuk oleh garis bidik itu tidak merupakan bidang datar, sehingga titik-titik pada bidang tersebut ketinggiannya tidak akan sejajar garis nivo, semakin jauh dari alat ketinggian garis bidik atau bidang akan semakin rendah (Gambar.2.16). (Tjitro. 1992)
                              Garis Nivo
                    Garis Bidik

 


       Gambar.2.15. Garis Bidik Sejajar Garis Nivo

                              Garis Nivo
                              (a)                                      (b)            Garis Bidik

 


             Gambar.2.16. Garis Bidik Tidak Sejajar Garis Nivo
2.   Sumbu vertikal atau sumbu satu harus betul-betul tegak atau tegak lurus garis bidik dalam keadaan mendatar (Gambar.2.17). Bidikan ke dua arah (a) dan (b) mendatar.

                             
                     A     (a)                                              (b)
                    Garis Bidik Mendatar
 

                                Sumbu Satu

                     Gambar.2.17. Sumbu Satu Tegak
Tidak tegaknya sumbu satu (Gambar.2.18) akan mengakibatkan teropong yang dibidikan ke satu arah dan garis bidiknya sudah dapat diatur mendatar (a), kemudian dibidikan ke arah lain, maka garis bidiknya akan berubah menjadi tidak mendatar lagi (b).

                             
                    Garis Bidik
                                  
                                        Sumbu Satu
 


                   Gambar.2.18. Sumbu Satu Tidak Tegak
 (3). Benang diafragma mendatar harus tegak lurus pada sumbu satu atau dalam keadaan mendatar (Gambar.2.19)
                                                Benang Diafragma Mendatar h





Gambar.2.19. Benang Diafragma Mendatar Tegak Lurus Sumbu Satu

Tidak mendatarnya benang diafragma mendatar atau tidak tegak lurus sumbu satu, yang berarti benang diafragma vertikal tidak tegak akibatnya akan menyulitkan menepatkan bidikan atau pembacaan rambu (Gambar.2.20).



                                           ABenang Diafragma Mendatar Dalam Keadaan Miring


Gambar.2.20. Benang Diafragma Mendatar Tidak Tegak Lurus Sumbu Satu